Air dan Api

Sega
8 min readApr 21, 2024

--

5 Februari 2024, Saat ego dan amarah menguasai segalanya.

Tw // Cw // Mention of cheating, raised voices, fighting, (almost) abusive anger, capslock

Matahari kian merosot dari kanvas biru di atas kepala, tidak pernah terlintas dipikiran Ekalaya tentang memeriksa kondisi buah tangan pesanan keluarga dapat semelelahkan ini.

“Jadi ke IKEA?” Ekalaya meregangkan tubuhnya, mengusir segala lelah yang hinggap di tubuh.

Haksara menggeleng sebagai jawaban, cukup membuat Ekalaya bingung. “Kalau lo capek, baiknya kita langsung pulang.”

“Siapa bilang gue capek? Tapi ga mood eskrim … laper nih, habis cari barang makan yuk!”

Haksara hanya tertawa, melihat Ekalaya cepat-cepat masuk ke dalam mobil dan menyalakan map assistant ke arah toko bangunan megah itu, meski sebenarnya tidak diperlukan.

Belakangan Ekalaya terlihat lebih berwarna, cerah dirinya lebih tampak dari keceriaan yang terpancar. Meski sejujurnya agak menjengkelkan bagi Haksara untuk mengakui semua itu datang bersama sosok Wisnu di hidup seorang Ekalaya R. Gunawan.

“Gue denger IKEA ada menu baru, gyoza? Salmon? Mau coba atau cari tempat lain?” bukan Haksara namanya jika tidak mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan retorisnya.

“Eh beneran menu baru? Ya mau coba lah! Leggo!”

Sama seperti Mikael dan Violette, Haksara hadir jauh lebih dulu ke dalam hidup Ekalaya sebelum teman-temannya. Haksara mengenal Ekalaya, bahkan lebih dalam daripada Ekalaya mengenal dirinya sendiri.

Yang lebih muda masih sibuk berbicara tentang ini dan itu, niat hati yang hanya ingin membeli alas laptop Haksara kini hilang entah kemana. Cukup lama sudah keduanya berjalan mengitari seisi gedung, melihat barang satu dan barang yang lain.

“Lo masih ada yang mau dicari Sa? Gue kayaknya udah deh ….”

“Hah? Oh, engga … Ay, mending kita bayar ini, lanjut makan.” Ekalaya mengangguk setuju, hampir lupa ajakannya sendiri.

Keduanya terdiam, akhirnya duduk di salah satu bangku dan menikmati alunan musik yang terdengar bersama hiruk pikuk sekelebat bisik dari percakapan orang-orang di sekitarnya. Tidak terlalu ramai, mungkin akibat lebih banyak yang memilih resto lain, atau sekedar hari kerja yang orang-orang belum menyelesaikan kewajibannya.

“Lo kenapa sih, gelisah banget kayaknya?” Haksara menggeleng, berusaha mengalihkan pandangan Ekalaya yang sempat mengikuti arah netranya ke arah kasir resto.

Kembali diam, kali ini lebih mencekik dari diam yang lampau. Napas Haksara berhembus kasar atas pertanyaan Ekalaya, “Dari tadi lo ga tenang karna liat itu? Sedari awal lo udah liat dia di sini?”

“Ay, mau ngapain?” pertanyaan retoris dari Haksara atas Ekalaya yang secara tiba-tiba berdiri dari duduknya hanya membuat api di matanya kian tampak.

Ekalaya tidak marah.

Dirinya Kecewa.

“Duduk dulu, Ay. Ga ada yang aneh, ga ada yang perlu dipakein emosi. Mungkin dia minta tolong cari barang untuk rumah kalian nanti, dan kebetulan laper? Just like us, just like you yang minta tolong gue untuk ke tempat souvenir, iya kan?”

Api yang menghinggapi seluruh akal sehat Ekalaya meredam dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin benar, Ekalaya belum sepenuhnya jatuh hati pada dokter bedah itu. Mungkin benar, Ekalaya juga belum sepenuhnya percaya pada konsep cinta, komitmen atau apapun yang terkait keduanya.

Namun sangat benar, bahwa Ekalaya percaya dan telah kecewa untuk kesekian kalinya. Kecewa pada seseorang yang baru datang di hidupnya dan sempat meyakinkan dirinya untuk terus berjalan di langkah yang sama. Ekalaya merasa bodoh.

“Haksa ….” sang pemilik nama hanya terdiam, mengelus lembut punggung tangan Ekalaya, maksud hati menenangkan.

Dalam hitungan detik, lenyap sudah kesabaran yang sedari tadi berusaha dirinya pupuk. Wisnu J. Wibisana, dengan entah siapa, saling genggam tangan dan tertawa bahagia, oh jangan lupakan piring dan gelas di depan mereka yang akan disantap berdua.

Katakanlah jika Ekalaya terlalu berlebihan dan mendramatisir keadaan, dia tidak peduli. Persetan dengan segala yang dipikirkan, calon suaminya sedang bermesraan dengan orang lain.

“Aya!” Haksara tak lagi dapat menahan, genggam tangannya terlepas dan Ekalaya berjalan dengan tergesa seolah ada yang mengejar.

“Lo bilang beres-beres rumah kan?” tanpa basa-basi, kalimat tanya dilayangkan di hadapan meja kedua insan yang sempat hanyut dalam dunianya sendiri.

“Aya???” bingung. Hanya hal itu yang Wisnu rasakan, hingga akhirnya pergelangan tangan di tarik untuk menjauh dan pergi.

“Kamu apa-apaan?!”

Yang lebih muda berbalik saat taut tangannya dipaksa untuk terputus di parkiran. “Lo yang apa-apaan?!” Ekalaya gusar, Wisnu menyadari itu. Dengan lembut Wisnu menuntun Ekalaya untuk masuk ke dalam mobilnya.

Keduanya pergi setelah Wisnu mengirim pesan singkat pada orang yang sempat bersamanya. Dengan santai mengeluarkan ponsel dan bercengkrama di layar pesan seakan Ekalaya tidak mengetahuinya.

Dengan mobilnya, mengelilingi kota hingga matahari benar-benar hilang dari pandang mata. Kini mobil terparkir, di depan sebuah taman kota yang semakin sepi bersama hari yang pula semakin malam.

“Ada yang mau diomongin?”

“Wah udah gila ini orang.” Ekalaya mendecih, sedikit membuat Wisnu mengerutkan dahi. Seolah benar-benar tidak mengerti.

“Gue rasa lo ga perlu buang-buang waktu, bawa gue keliling begini. Lebih baik waktu dan duit bensin lo dipakai buat jalan berduaan sama pacar lo itu ga sih?”

“Pacar? Maksud kamu yang tad-”

“Iya! Pacar? Mantan yang baru kemarin putus? Entah.”

Wisnu terdiam, tau betul Ekalaya kembali pada ketidak stabilnya. Amarah yang menguasai segala dasar pikiran membuatnya mengatakan segala sesuatu yang berasal dari mimpi buruknya.

“Tarik napas, Aya.”

Wisnu mencoba menarik kembali Ekalaya pada pijak rasionalnya.

“Lo- BISA GA LO BERHENTI BERLAGA BAIK??!!! Ga usah munafik lah!”

“Maaf?” Wisnu benar-benar tidak mengerti, api emosi Ekalaya tanpa sadar memantik sesuatu yang lebih besar dalam dirinya. Sesuatu yang tidak diharapkan hadirnya bagi mereka berdua.

“Gue salah karna percaya lo! Mulut manis lo yang- AH! Mau mengerti lah mau ini mau itu. STOP KORBANIN GUE DEMI KEPENTINGAN LO!! Dan oohhh gue paham sekarang. Lo ga bolehin gue kerja, supaya gue bisa jadi tahanan rumah lo, ga pergi kemana-mana karna lo yang kerja. Seakan-akan lo suami baik di sini, padahal asik berduaan sama entah siapa perempuan yang lo pacarin kan?”

“Kamu sadar buruk sangkamu sudah kelewatan kan?” Wisnu masih mencoba bersabar, perlahan menelaah kalimat panjang Ekalaya yang sama sekali tidak masuk di akal. “Saya cari perabot untuk rumah-”

“Kelewat batas??? Lo yang kelewat batas!! Padahal lo bisa loh, ajak gue langsung untuk cek souvenir dan ngurus apart setelah gue rapat? Oh!! Atau mungkin karna lo mau pakai rumah sama pac-”

“Busuk.”

Tidak, Wisnu tidak bisa menarik kembali Ekalaya pada pijak rasionalnya.

“Kamu sadar sekarang bukan lagi pikiran kamu yang busuk tapi hati kamu juga? Kamu sadar kalimat apa yang baru kamu ucap? Kamu tau apa-apa aja yang saya korbankan hanya karna harus terima untuk menikahi kamu?”

“GUE GA PERNAH MINTA LO TERIMA!! Dan segala pengorbanan lo yang gue pun ga peduli apa itu, ga memberikan lo hak untuk berlaku seenaknya, memenuhi kebutuhan lo untuk tetap hangat dari orang lain karna ga pernah dapat afeksi dari Mas dan orang tua lo!!!”

Yang benar-benar tidak ingin diundang dalam percakapan akhirnya tiba. Wisnu mencengkram pergelangan tangan Ekalaya dan menariknya, memaksa yang lebih muda untuk sedikit memiringkan badan dan menatapnya tepat di retina, di dalam mata Wisnu yang entah sejak kapan jauh lebih gelap dari malam saat pertama mereka bertemu.

Salah satu hal yang paling Wisnu benci adalah saat seseorang menaikkan nada bicara, tanpa memberi alasan jelas tentang apa kesalahannya. Dan Ekalaya tanpa sadar melakukan itu seolah dengan sengaja melempar Wisnu keluar dari batas kesabarannya.

“Yang pertama, Ekalaya Renjana Gunawan. Dia bukan orang lain dan saya cuma cerita sama dia, supaya kamu ga pertu tau fakta sialan ini dan biar saya yang telan semuanya sendiri. Yang kedua, saya tidak pernah menyinggung kamu dan segala masalah keluargamu.”

“Lo-”

“Ketiga, saya benci ketika seseorang bertingkah kekanakan, egois, juga tidak masuk akal, dan tiga hal itu yang selalu melekat di dalam diri kamu, bahkan merebak membabi-buta selama beberapa jam terakhir. Dan yang keempat, kenyataannya saya juga benci fakta bahwa saya pada akhirnya sempat terlena dan terima perjodohan bodoh ini.”

Keduanya masih berperang tatap. Kalimat paling panjang dari Wisnu yang pernah Ekalaya dengar menjadi kalimat paling menyakitkan dalam hidupnya.

“Terakhir. Saya tarik kata-kata saya perihal ingin mengerti kamu.”

Tiap kata pada kalimatnya memiliki penekanan bertingkat, searah dengan cengkraman yang kian menguat.

Alis Ekalaya bertaut, meringis karena perih di pergelangan tangan. Cengkram pada tangan yang memerah akhirnya terlepas, namun tidak dengan kedua mata yang masih terikat dengan sumbu emosi. “Lo tau lo selalu punya opsi menolak kan?”

Masih dengan kepala yang penuh sesak, Ekalaya tertawa kencang. Mengingat candaan panik dirinya dengan sang adik perihal cerita Zaman Siti Nurbaya. Konyol, pikir Ekalaya.

“Bukan cuma munafik, lo juga pinter berbual ya, dok?” kalimatnya sukses membuat cengkraman terlepas, meninggalkan bekas memerah yang melingkar di pergelangan tangan. Tangan Wisnu justru terangkat, dengan reflek membuat Ekalaya meringkuk untuk melindungi diri.

Satu pukulan keras mendarat tepat di stir mobil, bersama dengan deru napas yang memburu. Segala amarah yang selama ini Wisnu tahan akhirnya meledakkan bom yang tak lagi dapat dijinakkan. Namun lelaki itu masih punya hati untuk tidak melampiaskannya pada perempuan di sebelahnya.

Bunyi keras akibat daging dan kulit yang beradu dengan kayu berlapis vinyl, secara instan membungkam tawa Ekalaya yang sempat menyelimuti mobil. Entah Ekalaya harus bersyukur atau tidak, yang jelas ada sedikit rasa lega bahwa hantaman itu mendarat ke mana saja yang bukan dirinya.

“Masalah ini jauh lebih besar dari apa yang ada di otakmu, bocah. Nama kamu, Nama saya, ada di selembar kertas usang bermeterai!”

“Gue ga percaya.” cicit Ekalaya di tengah sulitnya mengatur napas dan rasa takut dengan laki-laki di sebelahnya.

“Perputaran uang tidak selalu menyenangkan, Aya. Tidak jika diri sendiri yang menjadi objek lelangnya.” Wisnu mulai melunak, berusaha mengatur kembali ritme bicara dan emosi yang—sialnya—sempat meledak tanpa sadar.

“Gue bilang gue ga percaya! Bisa ga lo jangan buat seolah-olah orang tua gue penjahatnya?!”

Wisnu memijat pelipisnya, benar-benar pusing dan tidak mengerti jalan pikiran seseorang yang kini duduk di bangku penumpang. Tanpa kata, tanpa suara, dashboard mobil dibuka. Ruang penyimpanan yang kemarin berisikan buah tangan dari galeri seni, kini tergantikan dengan secarik kertas yang menguning.

“Ini-”

“Selesai baca letakkan lagi di dashboard. Oh ya ….”

Wisnu menatap lekat Ekalaya yang tengah membaca isi kertas di tangan dan menahan napasnya, sebelum akhirnya menyalakan mobil.

“Saya punya salah, saya minta maaf. Saya usahakan semampu saya untuk membatalkan acara bodoh itu. Tapi kalau tidak bisa ….” perlahan mobil kembali melaju, mata yang lebih tua seolah enggan beranjak dari jalan.

“Kalau ga bisa?” tanya Ekalaya bergetar, banyak kemungkinan di kepalanya dan Ekalaya takut akan segala kemungkinan itu.

“Setelah menikah saya ga akan ganggu kamu, saya juga bisa tinggal di tempat lain supaya ga perlu ketemu kamu. Silahkan kerja di manapun, sejauh apapun kamu suka, lakuin apapun yang kamu mau. Anggap aja kita ga saling kenal.”

“Tapi-”

“Kalau kamu ga suka, kamu tau di mana Kantor Pengadilan Negeri.”

Kalimat final Wisnu seolah menjadi penutup percakapan dan waktu keduanya malam itu. Mobil dikemudikan, di tengah sepi yang kian mengurung hampanya hati dan jiwa yang menangis.

Lampu-lampu di pinggir jalan seolah menjadi satu-satunya hal yang dapat menerangi isi kepala nan terlampau gelap.

Keduanya kalah. Kalah akan ego dan emosi yang tidak terkendali atas diri masing-masing. Tidak hanya yang muda, bahkan yang lebih dewasa nampak tidak menyadari kalimat seperti apa yang telah bembabi-buta terlontar dari bibirnya.

Wisnu bagai air yang berputar di dinginnya Laut Antartika, dan Ekalaya bak api yang berkobar di relung panas Garis Khatulistiwa. Keduanya bertentangan dan saling mencekik, disatukan dengan paksaan yang tak memiliki jalan keluar.

‘Gue mau ngomong sama ayah sama ibun. Itu juga kalo masih punya energi untuk sekedar bernapas.’ pesan singkat terakhir dari Ekalaya kepada sang saudara sebelum ponselnya mati.

--

--

Sega
Sega

Written by Sega

It's too loud in my head so i write it down

No responses yet